TUGAS BIOETIK DAN HUMANIORA
SKENARIO
KEMBAR SIAM
Kembar siam perempuan lahir di Manchester 8 agustus 2008. Nama yang sebenarnya tidak di umumkan, tetapi oleh pengadilan inggris untuk mudahnya diberi nama Mary dan Jodie. Dari segi medis, kondisi mereka sangat berat. Tulang pinggulnya mereka menempel dan tulang punggung beserta seliruh bagian bawah tubuh menyambung. Kaki-kaki ada pada tempatnya dalam posisi silang menyilang. Keadaan itu tampak pada gambar yang dikeluarkan oleh RS St. Mary’s. Jantung dan paru-paru mary tidak berfungsi, lagi pula otaknya tidak berkembang penuh. Jodie tampak dalam keadaan fisik normal, tetapi janung dan paru-parunya mendapat beban berat. Karena harus menyediakan darah beroksigen juga untuk saudaranya. Menurut para dokter keadaan ini hanya bisa berlangsung tiga sampai enem bulan. Kalau keadaan ini dibiarkan lebih lama, dua-duanya akan meninggal dunia.
Dengan demikian kasus kembar siam ini menimbulkan suatu dilema yang amat memilukan. Orang tua, staf medis, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus ini menghadapi suatu pilihan yang sangat sulit. Jika Mary dan Jodie tidak di pisahkan, mereka dua-duanya meninggal. Jika mereka dipisahkan melalui operasi, mary pasti akan mati, karena ia tidak bisa benafas sendiri, sedangkan jodie mempunyai peluang baik untuk hidup dengan agak normal, walaupun dalam keadaan cacat dan harus menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi sedikit membetullkan kondisi fisiknya.
Orang tua kedua bayi perempuan ini adalah pemeluk agama yang saleh. Mereka berpendapat, Mary dan Jodie sebaiknya tidak di pisahkan, karena cinta mereka untuk kedua anak ini sama besarnya. Merka tidak bisa menerima jika yang paling lemah harus di korbankan kepada yang kuat. Karena itu mereka memilih menyerahkan seluruh masalah ini kepada kehendak Tuhan. Staf medis di RS Mary’s tidak setuju. Sesuai dengan naluri kedokteranyang umum, mereka beranggapan bahwa kehidupan yang mungkin tertolong, harus di tolong juga.
TANGGAPAN
Pada kasus ini, timbul sebuah dilema
etik bagi para dokter dan tim medis lainnya. Dalam permasalahan ini, dokter
diharuskan untuk mengambil sebuah keputusan moral untuk kehidupan pasiennya
yang lebih baik ke depannya. Di satu sisi, hal ini juga merupakan dilema etik
yang sangat besar bagi orang tua dan keluarga si pasien. Pada peristiwa ini,
diceritakan lahirnya anak kembar siam yakni Mary dan Jodie. Anak ini lahir
dengan thoraks menyatu satu sama lain, tetapi Jodie dinyatakan dalam keadaan
fisik yang normal sedangkan Mary memilki jantung dan paru-paru yang tidak
berfungsi dan otaknya tidak berkembang secara penuh. Jika keduanya dibiarkan
tetap menyatu seperti itu maka diprediksikan bahwa keduanya akan meninggal.
Tapi, jika dilakukan operasi pemisahan antara Jodie dan Mary maka Jodie akan
hidup dan Mary sudah dipastikan meninggal.
Menurut saya, melihat kondisi
seperti itu, dari pandangan seorang dokter, tentu saja ingin mengambil sebuah
tindakan agar pasiennya bisa hidup layaknya seperti orang normal yang lain.
Jika dokter memutuskan untuk melakukan operasi pemisahan antara Jodie dan Mary,
maka Mary sudah di pastikan akan meninggal dan Jodie akan tetap hidup. Ada
sebuah teori etik yang mengatakan bahwa “tidak etik menyelamatkan seseorang
untuk membunuh orang lain”. Jadi, apabila operasi tersebut dilakukan maka dokter
telah melanggar teori etik kedokteran tersebut dan secara tidak langsung
tergolong dalam euthanasia pasif.
Euthanasia Pasif adalah membunuh seseorang dengan perlahan-lahan secara
sengaja. Apabila seorang dokter melakukan euthanasia maka akan melanggar hukum
dan bisa dikenakan sanksi pidana.
Dilihat dari perspektif prinsip etika
kedokteran, apabila operasi tersebut tetap dilakukan sedangkan orang tua dan
keluarga pasien tidak menyetujui, maka dokter telah melanggar prinsip etik
kedokteran yaitu hak “Autonomy” keluarga pasien. Sebagai orang tua, tentu kita
tidak akan merelakan salah satu dari buah hati kita meninggal. Tentu kita
berharap semuanya bisa hidup seperti anak yang lainnya. Dilihat dari perspektif
orang tua, tentu saja orang tua Mary dan Jodie tidak mengizinkan dokter untuk
memisahkan mereka karena rasa sayang orang tua terhadap semua anaknya adalah
sama dan tidak ingin melihat yang satunya hidup dan yang satunya meninggal. Akan
ada tekanan batin yang dirasakan jika kita sebagai orang tua, melihat salah
satu anak kita meninggal.
Selain itu, dokter juga bisa
melanggar prinsip “Non Malaficience” dan “Justice”. Jika operasi pemisahan
dilakukan maka sama saja kita mencelakakan salah seorang dari anak kembar siam
tersebut dan tidaklah adil apabila hanya Jodie yang dibiarkan hidup padahal
seperti yang kita ketahui bahwa Mary juga mempunyai hak untuk hidup, sama
seperti Jodie. Sungguh dilema besar yang dihadapi oleh seorang dokter dalam
menghadapi situasi dan kondisi sulit seperti ini. Akan tetapi, jika dilihat
dari segi kemanusiaan, tidaklah tega jika kita sebagai seorang dokter melihat
keduanya meninggal begitu saja tanpa ada sebuah tindakan yang dilakukan. Sangat
miris rasanya, apabila dokter dihadapkan pada situasi sulit seperti ini.
Jadi, kesimpulannya saya setuju dengan
tindakan dokter untuk melakukan operasi pemisahan Jodie dan Mary meskipun
melanggar beberapa prinsip dalam etik kedokteran. Meskipun dari pihak keluarga
pasien menolak untuk dipisahkan, tapi sebagai seorang dokter kita harus
bersikap tegas, dan lebih baik kita bisa menyelamatkan satu nyawa daripada
kehilangan kedua nyawa sekaligus dengan sia-sia tanpa ada tindakan dari pihak
medis. Peranan autunomi keluarga pasien tidak bisa terlalu diikuti, karena
mereka hanya berlandaskan pada perasaan bathinnya semata, sedangkan dokter yang
memegang tanggung jawab penuh secara moril untuk melihat salah satu dari
keduanya hidup normal.
REFERENSI
Prinsip
etik berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik (KDB), yaitu :
a.BENEFICENCE
Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan resiko dan biaya.
b. NON-MALEFICENCE
Prinsip non-maleficence adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
c. AUTONOMY
Autonomi adalah prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis.
d. JUSTICE
Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice) atau pendistribusian dari keuntungan biaya dan rsiko secara adil.
Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan resiko dan biaya.
b. NON-MALEFICENCE
Prinsip non-maleficence adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
c. AUTONOMY
Autonomi adalah prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis.
d. JUSTICE
Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice) atau pendistribusian dari keuntungan biaya dan rsiko secara adil.
Jenis-jenis
Eutanasia
Mengikuti J. Wunderli yang membedakan tiga arti etunasia:
- Eutanasia
Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan. - Eutanasia tidak langsung
Usaha untuk memperingan kematian dengan efek
sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat. Di sini
termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang
barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak
disengaja.
- Eutanasia aktif (mercy killing):
Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan
secara terarah dan langsung. Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan apakah
pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan
di mana keinginannya dapat di ketahui.
Beberapa Aspek Dalam Eutanasia
1.
Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
2.
Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup,
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia,
yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan
dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan
diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan
yang hebat.
Prinsip etika klinik menurut Jonsen AR,
Siergler (JS), yaitu:
·
Medical Indication (indikasi medis)
Dengan pertimbangan
diagnostik, perjalanan penyakit, kondisi pasien, prognosis dan alternatif
pengobatan diambil keputusan :
- life saving (demi
keselamatan jiwa)
- preventive
(pencegahan), promotive (promosi)
- curative
(pengobatan)
·
simtomatik
·
kausal
·
paliatif
- rehabilitative
(rehabilitasi), cosmetic (keindahan)
·
Quality of life (kualitas hidup)
Siapa yang menilai, kriterianya bagaimana atauka ada standard
·
Patient’s preferrences (pemahaman dan keyakinan pasien)
· Contextual feature (situasi dan
kondisi umum)
Sosekbud, institusi, hukum dsb