Selasa, 21 Mei 2013

tugas bioetik



TUGAS BIOETIK DAN HUMANIORA
SKENARIO
KEMBAR SIAM

                 Kembar siam perempuan lahir di Manchester 8 agustus 2008. Nama yang sebenarnya tidak di umumkan, tetapi oleh pengadilan inggris untuk mudahnya diberi nama Mary dan Jodie. Dari segi medis, kondisi mereka sangat berat. Tulang pinggulnya mereka menempel dan tulang punggung beserta seliruh bagian bawah tubuh menyambung. Kaki-kaki ada pada tempatnya dalam posisi silang menyilang. Keadaan itu tampak pada gambar yang dikeluarkan oleh RS St. Mary’s. Jantung dan paru-paru mary tidak berfungsi, lagi pula otaknya tidak berkembang penuh. Jodie tampak dalam keadaan fisik normal, tetapi janung dan paru-parunya mendapat beban berat. Karena harus menyediakan darah beroksigen juga untuk saudaranya. Menurut para dokter keadaan ini hanya bisa berlangsung tiga sampai enem bulan. Kalau keadaan ini dibiarkan lebih lama, dua-duanya akan meninggal dunia.
                 Dengan demikian kasus kembar siam ini menimbulkan suatu dilema yang amat memilukan. Orang tua, staf medis, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus ini menghadapi suatu pilihan yang sangat sulit. Jika Mary dan Jodie tidak di pisahkan, mereka dua-duanya meninggal. Jika mereka dipisahkan melalui operasi, mary pasti akan mati, karena ia tidak bisa benafas sendiri, sedangkan jodie mempunyai peluang baik untuk hidup dengan agak normal, walaupun dalam keadaan cacat dan harus menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi sedikit membetullkan kondisi fisiknya.
                  Orang tua kedua bayi perempuan ini adalah pemeluk agama yang saleh. Mereka berpendapat, Mary dan Jodie sebaiknya tidak di pisahkan, karena cinta mereka untuk kedua anak ini sama besarnya. Merka tidak bisa menerima jika yang paling lemah harus di korbankan kepada yang kuat. Karena itu mereka memilih menyerahkan seluruh masalah ini kepada kehendak Tuhan. Staf medis di RS Mary’s tidak setuju. Sesuai dengan naluri kedokteranyang umum, mereka beranggapan bahwa kehidupan yang mungkin tertolong, harus di tolong juga.

TANGGAPAN
           Pada kasus ini, timbul sebuah dilema etik bagi para dokter dan tim medis lainnya. Dalam permasalahan ini, dokter diharuskan untuk mengambil sebuah keputusan moral untuk kehidupan pasiennya yang lebih baik ke depannya. Di satu sisi, hal ini juga merupakan dilema etik yang sangat besar bagi orang tua dan keluarga si pasien. Pada peristiwa ini, diceritakan lahirnya anak kembar siam yakni Mary dan Jodie. Anak ini lahir dengan thoraks menyatu satu sama lain, tetapi Jodie dinyatakan dalam keadaan fisik yang normal sedangkan Mary memilki jantung dan paru-paru yang tidak berfungsi dan otaknya tidak berkembang secara penuh. Jika keduanya dibiarkan tetap menyatu seperti itu maka diprediksikan bahwa keduanya akan meninggal. Tapi, jika dilakukan operasi pemisahan antara Jodie dan Mary maka Jodie akan hidup dan Mary sudah dipastikan meninggal.
            Menurut saya, melihat kondisi seperti itu, dari pandangan seorang dokter, tentu saja ingin mengambil sebuah tindakan agar pasiennya bisa hidup layaknya seperti orang normal yang lain. Jika dokter memutuskan untuk melakukan operasi pemisahan antara Jodie dan Mary, maka Mary sudah di pastikan akan meninggal dan Jodie akan tetap hidup. Ada sebuah teori etik yang mengatakan bahwa “tidak etik menyelamatkan seseorang untuk membunuh orang lain”. Jadi, apabila operasi tersebut dilakukan maka dokter telah melanggar teori etik kedokteran tersebut dan secara tidak langsung tergolong dalam euthanasia pasif. Euthanasia Pasif adalah membunuh seseorang dengan perlahan-lahan secara sengaja. Apabila seorang dokter melakukan euthanasia maka akan melanggar hukum dan bisa dikenakan sanksi pidana.
             Dilihat dari perspektif prinsip etika kedokteran, apabila operasi tersebut tetap dilakukan sedangkan orang tua dan keluarga pasien tidak menyetujui, maka dokter telah melanggar prinsip etik kedokteran yaitu hak “Autonomy” keluarga pasien. Sebagai orang tua, tentu kita tidak akan merelakan salah satu dari buah hati kita meninggal. Tentu kita berharap semuanya bisa hidup seperti anak yang lainnya. Dilihat dari perspektif orang tua, tentu saja orang tua Mary dan Jodie tidak mengizinkan dokter untuk memisahkan mereka karena rasa sayang orang tua terhadap semua anaknya adalah sama dan tidak ingin melihat yang satunya hidup dan yang satunya meninggal. Akan ada tekanan batin yang dirasakan jika kita sebagai orang tua, melihat salah satu anak kita meninggal.
                Selain itu, dokter juga bisa melanggar prinsip “Non Malaficience” dan “Justice”. Jika operasi pemisahan dilakukan maka sama saja kita mencelakakan salah seorang dari anak kembar siam tersebut dan tidaklah adil apabila hanya Jodie yang dibiarkan hidup padahal seperti yang kita ketahui bahwa Mary juga mempunyai hak untuk hidup, sama seperti Jodie. Sungguh dilema besar yang dihadapi oleh seorang dokter dalam menghadapi situasi dan kondisi sulit seperti ini. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kemanusiaan, tidaklah tega jika kita sebagai seorang dokter melihat keduanya meninggal begitu saja tanpa ada sebuah tindakan yang dilakukan. Sangat miris rasanya, apabila dokter dihadapkan pada situasi sulit seperti ini.
             Jadi, kesimpulannya saya setuju dengan tindakan dokter untuk melakukan operasi pemisahan Jodie dan Mary meskipun melanggar beberapa prinsip dalam etik kedokteran. Meskipun dari pihak keluarga pasien menolak untuk dipisahkan, tapi sebagai seorang dokter kita harus bersikap tegas, dan lebih baik kita bisa menyelamatkan satu nyawa daripada kehilangan kedua nyawa sekaligus dengan sia-sia tanpa ada tindakan dari pihak medis. Peranan autunomi keluarga pasien tidak bisa terlalu diikuti, karena mereka hanya berlandaskan pada perasaan bathinnya semata, sedangkan dokter yang memegang tanggung jawab penuh secara moril untuk melihat salah satu dari keduanya hidup normal.
REFERENSI
Prinsip etik berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik (KDB), yaitu :
a.BENEFICENCE
Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan resiko dan biaya. 
b.    NON-MALEFICENCE
Prinsip non-maleficence adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
c.    AUTONOMY
        Autonomi adalah prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis.
d.    JUSTICE
Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice) atau pendistribusian dari keuntungan biaya dan rsiko secara adil.

Jenis-jenis Eutanasia
Mengikuti J. Wunderli yang membedakan tiga arti etunasia:
  1. Eutanasia
         Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan.
  2. Eutanasia tidak langsung
 Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
  1. Eutanasia aktif (mercy killing):
Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat di ketahui.

Beberapa Aspek Dalam Eutanasia
1.      Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. 
2.         Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Prinsip etika klinik menurut Jonsen AR, Siergler (JS), yaitu:
· Medical Indication (indikasi medis)
        Dengan pertimbangan diagnostik, perjalanan penyakit, kondisi pasien, prognosis dan alternatif pengobatan diambil keputusan :
- life saving (demi keselamatan jiwa)
- preventive (pencegahan), promotive (promosi)
- curative (pengobatan)
· simtomatik
· kausal
· paliatif
- rehabilitative (rehabilitasi), cosmetic (keindahan)
· Quality of life (kualitas hidup)
         Siapa yang menilai, kriterianya bagaimana atauka ada standard
      · Patient’s preferrences (pemahaman dan keyakinan pasien)
       · Contextual feature (situasi dan kondisi umum)
                Sosekbud, institusi, hukum dsb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar